Dahulu saya masih ingat, ‘Hari-hari omong Kosong’ adalah suatu kepanjangan yang diberikan kepada nama salah satu orang besar di jaman orde baru. Orang tersebut dijuluki demikian, karena nyatanya hanya pembicaraan tanpa realisasi saja yang dilakukannya setiap hari. Dahulu, mendengar beliau ini berbicara, pastinya itu hanya wacana saja, peduli setan apakah dikerjakan atau tidak olehnya.
Belakangan ini saya pun jadi sering mendengar istilah NATO. ‘No Action Talk Only’. Indikasinya sama. Sarkas memang, namun sebaiknya memang kita jangan menjadikan istilah yang sarkas ini justru untuk mengkritik orang saja.
Istilah NATO ini bisa kita jadikan alat introspeksi diri yang baik. Sangat perlu bahkan. Mengingat jaman sekarang, disaat negara masih berada pada kondisi krisis, hal yang penting untuk dikedepankan adalah suatu niatan baik yang kemudian direalisasikan dengan benar.
Kritik memang alat yang baik untuk meluruskan. Namun repotnya bila kritik justru dijadikan komoditas politik suatu pihak untuk menggulingkan pihak lainnya. Terlebih bila pihak yang mengkritik tersebut tidak pernah berkaca pada dirinya sendiri. Kritiknya tersebut biasanya hanya sekedar mengungkapkan kesalahan tanpa ada solusinya. Itu baru Repot. Repot, mengingat jaman sekarang yang kita butuh adalah kebersamaan, bukan saling menyalahkan dan menjatuhkan.
Suatu hari, ketika melihat suatu acara di televisi. Saya,secara tidak sengaja, menyaksikan sebuah pertunjukan atraksi tanpa mantra dengan Judul the Master. Acara itu adalah suatu live show yang mempertunjukkan kebolehan para calon master magician. Yang menarik untuk saya ketika itu adalah adanya sosok peserta yang tidak sama sekali berbicara ( baca : diam membisu ) pada saat mempertunjukkan kebolehannya. Dari awal sampai akhir, ketika itu saya perhatikan hanya bahasa tubuh dan tingkahnya saja yang menyiratkan pertunjukan, mulutnya sama sekali terkunci, rapat bak peti harta karun milik para bajak laut.
Kata pembawa acaranya ketika itu, si diam itu bernama Limbad. Ada komentar dari salah satu juri yang mengatakan bahwa Limbad sedang berpuisi dalam gerak, indah sekali. Dia sama sekali tidak bicara, bahkan ketika dikomentari dan ditanya oleh para dewan juri.
Terlepas dari pro dan kontra dari aksi fakir magic nya, menurut saya, sosok Limbad ini sangat menarik. Diamnya Limbad bukan diam sembarangan. Meski tidak banyak bicara, tingkah dan aksinya sangat nyata dan memukau. Menurut saya, lagi-lagi, diamnya bukan diam sembarangan, diamnya adalah diam emas.
Menurut saya, kenapa kita tidak mencoba belajar seperti limbad ini. Belajar untuk tidak banyak bicara, belajar untuk banyak berbuat dan belajar untuk lebih banyak mendengarkan orang lain. Mungkin tidak seharusnya kita jadi diam seribu bahasa, tapi rasa-rasanya dengan mengurangi pembicaraan yang tidak perlu dan kata-kata yang menyakiti orang lain, sudah lebih dari cukup kontribusinya terhadap kemajuan negara kita. Karena lagi-lagi, negara kita sudah terlalu banyak orang yang pintar bicara. Tapi yang sanggup mendengar dan melaksanakan apa yang dibicarakan, itu yang sedikit. Sedikit sekali bahkan.
Untuk Indonesia yang lebih baik. Mari kita belajar sedikit bicara,tapi banyak berbuat, banyak medengar dan mengurangi kata-kata yang tidak perlu serta kalimat-kalimat yang menyakiti orang lain.
Semoga ada manfaatnya.
Read Full Post »